Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris)
yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan
peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral
Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat
baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara
kebersihan, dan memelihara hak orang lain, serta larangan mencuri, berzina,
membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah
laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh
kelompok sosialnya.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga,
moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja. Tahap ini
merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap.
Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan
moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal
ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap
kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di
internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada
sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada
orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan
orang tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas
remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah
lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti
kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berprilaku
bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas
dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang
perbuatannya).
Menurut Sutikna, nilai adalah norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut
Spranger, nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu
untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situassi sosial
tertentu.
Jadi, nilai itu merupakan :
a. Sesuatu yang diyakini
kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.
b. Produk sosial yang
diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
c. Sebagai standar
konseptual yang relative stabil yang membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam
rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
1. Nilai teori atau nilai keilmuan, adalah nilai yang mendasari perbuatan seseorang
berdasarkan pertimbangan rasional.
2. Nilai ekonomi, adalah nilai yang mendasari perbuatan atas dasar
pertimbangan untung rugi atau financial.
3. Nilai sosial atau solidaritas, tidak memperhitungkan laba atau rugi terhadap
dirinya yang penting dia dapat melakukannya untuk kepentingan orang lain dan
menimbulkan rasa puas pada dirinya.
4. Nilai agama, atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu
itu benar menurut agama dan merasa berdosa jika tidak berbuat sesuai yang
disyariatkan agama.
5. Nilai seni, atas dasar pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas
dari berbagai pertimbangan material.
6. Nilai Politik, atas dasar pertimbangan baik-buruknya untuk
kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Remaja sebagai individu maupun sebagai komunitas
masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebut
dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern
atau secara tradisional.
Nilai yang dianutnya akan menjadi bagian dari driri
remaja (berpengaruh terhadap perilaku remaja tersebut). Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan
selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan
sopan santun saja, namun juga nilai-nilai yang tersebut diatas.
Dalam perkembangan agamanya, banyak remaja mulai
meragukan konsep dan keyakinan akan relligiusnya pada masa kanak-kanak dan oleh
karena itu, periode remaja disebut sebagai periode keraguan religius. Namun
Wagner berpendpat bahwa apa yang sering ditafsirkan sebagai “keraguan religius”
kenyataannya merupakan tanya jawab religius.
Menurut Wagner
“Banyak remaja
menyelidiki agama sebagai suatu sumber suatu rangsangan emosional dan
intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian
intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan
agama bukan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna
berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebbas menentukan
keputusan-keputusan mereka sendiri”.
Sumber:
Agustiani, Hendriati, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT
Refika Aditama.
Diana E. Papalia, et.Al, Human Development (Psikologi
Perkembangan), Jakarta: Kencana Prenada Media Group.