Rabu, 09 Januari 2013

Hubungan Anak Dengan Nilai-Nilai Moral dan Agama.



Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral
Nilai-nilai moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain, serta larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Menurut Kohlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pascakonvensional harus dicapai selama masa remaja. Tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang di internalisasi lebih untuk menghindari hukuman terhadap diri sendiri daripada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain. Remaja berprilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, tetapi psikologis (rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain tentang perbuatannya).
Menurut Sutikna, nilai adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan-santun. Menurut Spranger, nilai merupakan suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternative keputusan dalam situassi sosial tertentu.
Jadi, nilai itu merupakan :
a.       Sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk mewujudkannya.
b.      Produk sosial yang diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya.
c.       Sebagai standar konseptual yang relative stabil yang membimbing individu dalam   menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Spranger menggolongkan nilai ke dalam enam jenis nilai[1][6], yaitu :
1.      Nilai teori atau nilai keilmuan, adalah nilai yang mendasari perbuatan seseorang berdasarkan pertimbangan rasional.
2.      Nilai ekonomi, adalah nilai yang mendasari perbuatan atas dasar pertimbangan untung rugi atau financial.
3.      Nilai sosial atau solidaritas, tidak memperhitungkan laba atau rugi terhadap dirinya yang penting dia dapat melakukannya untuk kepentingan orang lain dan menimbulkan rasa puas pada dirinya.
4.      Nilai agama, atas dasar pertimbangan kepercayaan bahwa sesuatu itu benar menurut agama dan merasa berdosa jika tidak berbuat sesuai yang disyariatkan agama.
5.      Nilai seni, atas dasar pertimbangan  rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari berbagai pertimbangan material.
6.      Nilai Politik, atas dasar pertimbangan baik-buruknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Remaja sebagai individu maupun sebagai komunitas masyarakat memiliki nilai-nilai yang dianutnya. Nilai yang dianut remaja tersebut dapat dipengaruhi oleh posisi kehidupan mereka, apakah kehidupan secara modern atau secara tradisional.
Nilai yang dianutnya akan menjadi bagian dari driri remaja (berpengaruh terhadap perilaku remaja tersebut). Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga nilai-nilai yang tersebut diatas.
Dalam perkembangan agamanya, banyak remaja mulai meragukan konsep dan keyakinan akan relligiusnya pada masa kanak-kanak dan oleh karena itu, periode remaja disebut sebagai periode keraguan religius. Namun Wagner berpendpat bahwa apa yang sering ditafsirkan sebagai “keraguan religius” kenyataannya merupakan tanya jawab religius.
Menurut Wagner
“Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber suatu rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebbas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri”.
Sumber:
Agustiani, Hendriati, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Refika Aditama.
Diana E. Papalia, et.Al, Human Development (Psikologi Perkembangan), Jakarta: Kencana Prenada Media Group.



Peranan Komunikasi Dalam Pembentukan Sikap dalam Keluarga



Ø  Pengertian dan Sifat Komunikasi dalam Keluarga 
Cukup banyak pengertian komunikasi yang dikemukakan oleh para ahli.
Secara umum. Dapat dikemukakan bahwa komunikasi itu merupakan proses penyampaian dan penerimaan lambing-lambang yang mengandung arti. Yarat pertama agar komunikasi dapat dipahami adalah lambing tersebut mengandung arti. Yang sama bagi penyampai dan penerima komunikasi. Komunikasi dapat berlangsung secara verbal (dengan kata-kata) atau nonverbal.
          Komunikasi antara suami dan istri pada dasarnya harus terbuka. Tentu saja, karena suami istri merupakan suatu kesatuan. Komunikasi yang terbuka dapat menghindarkan kesalapahaman. Dalam batas-batas tertentu, sikap keterbukaan dalam komunikasi juga dilaksanakan dengan anak-anak yaitu apabila anak telah dapat berpikir dan mempertimbangkan secara baik mengenai hal-hal yang dihadapinya. Dengan demikian akan ada saling pengertian diantara seluruh anggota keluarga, serta terbina dan tercipta tanggung jawab sebagai anggota keluarga.
          Di samping keterbukaan dalam komunikasi, komunikasi dalam keluarga sebaiknya merupakan komunikasi dua arah yaitu saling member dan saling menerima diantara anggota keluarga. Dengan komunikasi dua arah aka nada umpan balik sehingga akan tercipta komunikasi yang hidup dan dinamis. Dengan komunikasi dua arah, masing-masing pihak akan aktif dan dapat memberikan pendapatnya mengenai komunikasi yang akan dikomunikasikan.

 Sumber :

Walgito, bimo. 2010. Bimbingan + konseling[studi dan karier]. Yokyakarta: ANDI

Menejemen Stress dan Konseling Karir




Sangat membantu bagi konselor karir untuk mengidentifikasiapakah sebuah masalah yang tampaknya diindustri stres pada kenyataanya berkaitan dengan isu-isu yang dideskripsikan di bawah ini, dan oleh sebab itu sesuai dengan pendekatan konseling karir. Membuat pekerjaan dan daya hidup yang didasari oleh informasi yang jelas tentang kekuatan ( dan kelemahan ), interes, dan nilai-nilai , bersama pertimbangan tentang sumberdaya eksternal ( seperti dukungan dan komitmen ) dapat memberikan konstribusi pada “menejemen stress”, tetapi pilihan dan gaya hidup tidak akan menjadi satu-satunya faktor yang harus dipertimbangkan . untuk bantuan yang lebih generik untuk menejemen stress, sebuah pendekatan terfokus-solusi mungkin bermanfaat (lihat O’Connell,1998).
Klien-klien yang dating untuk konseling karir pada awalnya dapat dibantu dengan menerima literature yang merinci beberapa masalah yang lebih lajim dialami. Hal ini sendiri dapat mengurangi perasaan sendirian (“aku bukan satu-satunya”) dan memungkinkan pengungkapan masalahnya sejak dari awal.Boks 2.1 menunjukan beberapa masalah yang lajim dilontarkan kepada konselor karir.
Setiap klien yang datang untuk konseling karir membawa sebuah respon unik terhadap masalah apapun yang sedang dihadapinya. Salah satu prinsip fundamental intervensi konseling adalah bahwa klien dibiarkan menemukan solusi uniknya untuk suatu masalah, pun jika masalah itu adalah sebuah masalah lazim.
Konselor karir harus mengakui bahwa kebutuhan, aspirasi dan kesempatan karir dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti gender, golongan ras, disabilitas,  dan umur. Sebagai contoh, meskipun ada beberapa prinsip umum untuk diingat dlam memberikan konseling kepada seorang klien yang kehilangan pekerjaan, penting bagi konselor karir yang menangani seseorang perempuan kulit hitam yang baru saja kehilangan pekerjaan untuk konsitif terhadap bagaimana ia merasakan dan mengalami dirinya sebagai perempuan dan sebagai orang kulit hitam telah memengaruhi situasinya.

Sumber:
Nathan Robert & Linda Hill.2012.Konseling Karir.yogyakarta:Pustaka Pelajar.